Oleh Bilfach Rachma Nur Effendi (8A)
Tik… tik… tik…
Hujan deras sedari bel pulang sekolah tadi mulai berkurang menjadi gerimis kecil. Aku masih saja duduk termenung di depan kelas. Mataku masih terpaku dengan 5 orang yang ada di lapangan basket sekolah. Ardan, Rico, Marcell, Arya dan Kevin. Ya mereka ini anak basket, dan meski mereka kelas 11 dan 12, tapi mereka itu termasuk kompak! Ya liat aja, mereka sampai hujan-hujanan begitu demi memuaskan hasrat mereka untuk main basket, meski tahu bolanya akan susah mantul kalau di air.
Ardan. Namanya Ardan Pratama Putra. Dia masih kelas 11, tapi dia satu-satunya orang di sekolah yang mampu membuatku, yang termasuk tipe susah jatuh cinta, jatuh hati kepadanya. Ardan ini cowok cool, mudah deket sama siapa aja! Termasuk yang belum pernah dia kenal sebelumnya, like my best friend, Vanna, but not me.
Rico. Rico Ardiansyah. Ini anak itu kecenya badai! Tapi ya tetep aja gak bisa bikin aku jatuh cinta sama dia. Rico itu justru gebetannya sahabatku, Vanna. Rico ini adiknya
Marcell, jadi dia juga ikutan
famous. Dia sama Ardan ini sekelas, 11 IPA 2. Kelas mereka itu deket sama
kelasku, ya entah kenapa bisa begitu, tapi ya lumayanlah, buat cuci mata setiap hari.
Marcell itu anak kelas 12 IPS 1. Ini anak famousnya minta ampun! Coba deh tanyain satu sekolah, siapa yang gak kenal Marcellio Aditya? Wah pasti langsung diejek kuper deh! Arya dan Kevin itu sekelas sama aku, Vanna juga, 12 IPA 2.
***
“Nes? Woy?”, tangan Vanna mengayun-ngayun di depan mukaku.
“Eh apa Van?”, jawabku yang baru sadar karena ngelamunin itu adek kelas yang super cool, Ardan!
“Eciye, pasti ngelamunin Ardan ya? Eh liat Rico gak?”, pertanyaan yang berujung ke Rico, ya selalu saja Rico.
“Itu tuh, berlima itu, tuh!”, tanganku menunjuk pada seseorang berkaos putih bermerek Joger.
“Nah, itu dia, gue cariin dari tadi!” ujar Vanna seraya menghampiri Rico.
Dari kejauhan aku melihat… betapa beruntungnya Vanna, bisa sebegitu dekat dengan orang yang dicintainya. Berbeda jauh dengan sahabatnya, aku, untuk ngomong aja rasanya kelu banget ini lidah! Ya jadi gimana mau deket kalau sekedar ngucap “Hai” aja gak bisa! Aku cuma bisa menunduk pasrah sama keadaan susah bicara ini.
Ketika aku mendongak kembali… aku melihat sesuatu yang selama ini kuinginkan. Duduk disamping orang yang kita cintai. Sementara Rico duduk berdua dengan Vanna, sepertinya Vanna membicarakan perihal kegiatan students exchange ke Oxford yang dia ikuti. Meski mereka berhubungan tanpa status, mereka itu sudah cukup membuat aku iri! Ya, iri dengan kedekatan mereka sebagai dua orang yang tidak berpacaran. Kapan gitu aku bisa kaya gitu sama Ardan? Like impossible!
Sedangkan Ardan, Marcell, Arya dan Kevin tadi sepertinya sedang membeli makanan dan minuman ringan. Lapangan basket sudah sepi. Hanya tinggal bola basket sendirian di tengah lapangan.
“Nes?”, tiba-tiba saja Marcell duduk disampingku.
“Eh, eh, apa Cell?”, tanyaku.
“Enggak kok, elo kok ngelamun sih? Hehe”, tanyanya bersamaan dengan garis lengkung manis di wajahnya.
“Ngelamun apaan? Enggak tau! Cuma lagi mikir aja, Vanna kan bentar lagi mau ke Oxford, lah nanti aku sama siapa dong? Hehe”, jawabku sambil menampilkan senyum palsu terbaikku. Aku masih belum siap jika banyak orang mengetahui jika aku jatuh cinta pada Ardan.
“Sama gue dong!”, aku menangkap sinyal lain dari yang dia katakan. Ya meski aku ini sampai sekarang masih jomblo terus, tapi ada yang beda dari tatapan mata dan senyum Marcell ke aku. Apalagi dari perkataannya itu tadi.
“Ah elu kan cowok Cell! Gue jarang tau sahabatan sama anak cowok, paling-paling cuma kek1 sama Arya Kevin”, aku masih bingung mengapa aku always speechless kalau sama Ardan! Tapi kalau sama yang lain enggak! Termasuk anak sefamous Marcell ini, gak ada cerita pakai lidah kelu segala!
“Lah terus kalau gue cowok kenapa Nes? Apa salahnya? Aku anak famous loh, kebanyakan pada minta temenan sama gue. Lah elo gue minta temenan sama gue kok gak mau sih?”, tanyanya.
“Ah pede gila lu Cell! Bukannya gak mau temenan sama elu, siapa aja bisa jadi temen gue kok! Hehe, tapi kalau kaya Vanna gitu digantiin anak cowok bagi aku itu gak pas. Hehe”, aku tersenyum lagi, kali ini bukan senyum palsu.
Marcell hanya diam saja. Sepertinya dia bingung mau menjawab apalagi. Sepintas aku melihat wajah original Ardan, karena habis hujan-hujanan, akan jalan melewati tempat aku duduk bersama Marcell, tapi dia langsung berbalik mengurungkan niatnya untuk lewat depan kelasku. Mungkin karena tadi dia melihat Marcell sedang serius berbicara denganku, dan tidak ingin mengganggu pemandangan. Mungkin?
Tak lama, mereka berlima bermain basket lagi. Dengan keadaan hujan sudah reda, meski lapangan basket masih sedikit berair. Vanna menghampiriku, mengajakku untuk pulang ke rumah. Aku hanya mengiyakan ajakannya itu, lagipula pasti sebentar lagi Ardan akan pulang. Itu yang ada di pikiranku.
***
Hari ini, Vanna akan berangkat ke Oxford, dia akan menetap disana sekitar 2 minggu. Hari ini juga ada anak baru di kelas 11 IPA 2, sekelas dengan Ardan dan Rico. Namanya Maura, dan yang jelas Maura ini pernah menjadi seseorang yang berharga buat Ardan alias dia itu mantan pacarnya Ardan.
Sebenernya aku juga baru tau tadi pagi kalau Maura itu mantannya Ardan. Arya bilang ke aku, kalau dulu itu pas jaman mereka SMP, Ardan dan Maura, lengket banget kaya gak bisa dipisahin. Sempat juga dulu pas SMP dijulukin best couple! Mereka itu baru 8 bulan yang lalu putus. Ya mungkin karena Maura punya gebetan baru di SMAnya sebelum sekolah disini.
“Hai kak, kenalin aku Maura!”, dia mengajakku berkenalan ketika berpapasan di depan kelasku.
“Hai, Nessa,” aku menyodorkan tanganku sembari bergumam, ini anak pasti dulu di sekolahnya termasuk anakfamous.
“Oh ya kak, aku kelas 11 IPA 2, kakak kelas apa?” bukannya segera masuk ke kelas karena bel masuk setelah istirahat sudah berbunyi, dia malah mengajakku ngobrol.
“Ini nih,” aku menunjuk ruangan di balik badanku.
“Oh, 12 IPA 2 ya? Duluan ya kak! Udah bel nih! Hehe,” dia tersenyum memperlihatkan giginya yang dipagar.
“Eh, eh, tunggu bentar,” aku merasa seperti harus ada yang dibicarakan.
“Iya kak, kenapa?” dia menghampiriku lagi.
“Kamu mantan pacarnya Ardan ya?” entah mengapa kata-kata itu dapat keluar dari mulutku.
“Hah? Iya sih kak sebenernya. Eh yaudah kak, itu udah ada guru! Masak hari pertama di sekolah ini telat masuk kelas sih, hehe” dia berlari menuju kelasnya.
Kata “Hah?” tadi seperti, Maura tidak mengakui kalau Ardan pernah jadi pacarnya. Dan kata “Iya sih kak sebenernya” dengan aksen cepat semakin memperlihatkan Maura tidak mengakui Ardan sebagai mantan pacarnya.
Siangnya, setelah bel pulang sekolah, aku langsung pulang ke rumah. Biasanya jam-jam segini itu aku duduk didepan kelas liat-liat lapangan basket siapa tau Ardan mau basket. Tapi itu kalau ada Vanna, kalau gak ada Vanna ya mau ngapain nunggu Ardan main basket, nanti malah dikira keganjenan. Kalau ada Vanna kan ada alasan, Vanna, tau sendiri kan sama Rico kaya gimana.
Tapi pas aku baru sampe parkiran, tiba-tiba ada yang narik tangan aku!
“Nes! Langsung pulang nih? Gak nunggu pada main basket?” tanya Marcell. Marcell tak malu bicara seperti itu didepan banyak orang dengan volume suara yang tidak kecil. Tapi aku… jelas malu jadi perhatian orang-orang di sekitar, mereka pada langsung noleh gitu pas Marcell bilang itu.
“Enggak Cell. No Vanna, no go home 5 PM. Udah ah Cell, lepasin tangan kamu! Malu tau diliatin orang banyak begini!” ucapku seraya melepaskan genggaman tangan Marcell dan bergegas keluar sekolah.
Ternyata diluar Pak Sarman, supir di keluargaku, sudah menunggu. Aku pun berlari-lari kecil agar bisa cepat masuk mobil dan maluku berkurang karena kejadian tadi.
Didalam mobil aku hanya memikirkan kejadian tadi lagi. Aku merasa ada yang beda dari Marcell, dia itu seperti, ehm… seperti suka sama aku! Mendadak, hapeku bergetar.
From : Arya
Nes! Elu dimana?
“Kenapa Arya tiba-tiba tanya begini?” kataku dalam hati.
To: Arya
Otw home. Kenapa Ya?
Sent…
Aku harap-harap cemas menunggu balasan sms dari Arya. Jarang sekali Arya sms aku, biasanya dia sms aku karena memang ada sesuatu yang benar-benar penting.
From : Arya
Ardan Nes! Gue gak bisa jelasin di sms! Gue butuh ketemu elu!
Ardan kenapa? Hatiku mulai tidak tenang memikirkan Ardan. Aku harus ketemu Arya!
To: Arya
Oke! Kapan? Nanti malem gue kosong!
Sent…
From : Arya
Nanti malem jam 8 di Pansy Parky Café! Meja no 11!
Gak biasanya sih Arya ngejak ketemuan di café. Tapi ini menyangkut Ardan, ya harus aku anggap biasa!
To: Arya
Oke
Sent…
***
Malamnya, pukul 19.45 aku sudah berangkat dari rumah, karena jarak Pansy Parky Café cukup jauh dari rumah. Seperti biasa aku diantar Pak Sarman, yang beda hanya kecepatannya, aku menyuruh Pak Sarman untuk menanmbah kecepatannya agar tepat waktu.
Sesampainya di Pansy Parky Café, meja nomor 11 masih kosong. Aku segera duduk disana. Waitresspun datang, dia menanyakan aku akan pesan apa. Aku hanya bilang aku masih mau menunggu teman, jadi nanti saja pesannya.
Tiba-tiba…
♫ La la la la la la la la la la la la
I like your smile, I like your vibe, I like your style
But that’s not why I love you
And I, I like the way, you’re such a star
But that’s not why I love you
Hey,do you feel, do you feel me?
Do you feel what I feel too?
Do you need, do you need me?
Do you need me?
You’re so beautiful,but that’s not why I love you
I’m not sure you know, that’s the reason I love you is you
Being you, just you
Yeah the reason I love you, is all that we’ve been through
And that’s why I love you ♫
Lagu I Love You yang dinyanyikan Avril Lavigne mengalun. Entah apa maksudnya ini, tapi ini salah satu lagu favoritku!
“Will you be my girlfriend, Nes?” ada orang yang berkata seperti itu di belakangku. Aku menoleh, dan itu adalah Marcell! Aku benar-benar tidak menyangka Arya membohongiku!
“Ah, eh, Marcell,” aku kaget.
Tapi, baru saja aku menoleh dan berkata itu, hapeku bergetar…
From: Arya
Nes! Maaf, aku gakminta kamu buat datang ke PPC2! Kartuku tadi dipinjem Marcell, eh ternyata buat gitu toh! Aku gak nyangka beneran Marcell bisa gitu Nes! Sekali lagi maaf Nes! Itu tadi Marcell bukan aku!
“Hey? Vanessa Ardhibakti?” dia tersenyum kepadaku. Tanpa babibu aku langsung mendobrak meja, hingga membuat semua pengunjung café ini menengok ke asal suara.
“Kamu gila Cell! Aku gakmau jadi pacarmu! Caramu keterlaluan! Kamu manfaatin Arya cuma buat kaya gini? Kamu itu! Argh,” aku menangis menumpahkan semua emosiku ke Marcell.
Dan mendadak, Rico dan Ardan datang, Ardan berdiri dengan mata yang sedikit sembab seperti habis menangis. Aku hanya bisa duduk menangis, tak peduli Ardan datang.
“Eh bang!” Rico menarik kerah baju Marcell.
“Gue kira elo bisa jadi temen yang baik! Eh elo malah nusuk Ardan dari belakang gitu? Bang! Elo kan tau kalo Ardan setelah putus dari Maura move on nya ke Nessa! Kenapa elo malah jadi nembak Nessa? Temen macam apa lo ini bang?” Rico juga emosi, karena sahabat terbaiknya, Ardan, dikhianati oleh kakaknya sendiri. Aku tercengang ketika Rico bilang Ardan move on nya ke aku. What the hell!
“Loh, apa salah gue? Salah sendiri cerita ke gue, lagipula elo cerita ke gue jug ague gak peduli, gue tetep suka sama Nessa! Elo juga Dan! Elo pengecut! Sampai sekarang elo belum nembak Nessa juga kan? Hah?” watak temperamen Marcell mulai keluar. Aku muak sebenernya menjadi pendengar semua kata-kata itu. Pegawai dan pengunjung café pun tidak ada yang berani melerai mereka.
“Gue gak percaya elo gini bang! Papa pasti marah kalau denger elo jadi pengkhianat kaya gini!” Rico juga membalas kata-kata Marcell.
“Udah Co! Daripada elo berdua cuma adu mulut, mending tanya langsung ke Nessa, dia sukanya sama siapa! Udah gitu doang, masalah kita selesai!” Ardan melerai pertengakaran kakak beradik itu.
“Oke, Kak Nessa, kakak ini sukanya sama abang aku atau Ardan?” tanya Rico padaku.
“Aku… Aku…” aku masih sedikit terisak untuk menjawab pertanyaan Rico itu.
“Aku tau Nes! Kamu itu sukanya sama aku! Aku tau!” Marcell malah menambah suasana menjadi lebih buruk.
“Diem!” bentak Rico.
Ardan hanya terpaku melihat apa yang akan keluar dari mulutku. Aku cuma cinta sama kamu Dan. Just you, and only you. Aku masih belum sanggup untuk mengatakan dengan keadaan yang seperti ini.
“Cuma satu orang yang bisa bikin gue jatuh hati…” aku masih mengulur-ngulur jawabanku, efek ketidaksiapan dan ketidaksanggupan.
“Iya, dia itu siapa Kak?” Rico bertanya kembali.
“Ardana Pamungkas,” jawabku. Setelah memberikan jawaban itu, aku segeran berlari keluar dari Pansy Parky Café.
Aku benar-benar butuh Vanna kali ini! Oh God! I wanna talk with her now! Butuh tempat bercerita. Tapi tiba-tiba aku mencium harum bunga. Dan itu berasal dari buket bunga yang dibawa Ardan. Dia ada dibelakangku!
Aku ingin lari, tapi Ardan menghentikan langkahku dengan genggaman tangannya.
“Aku ingin aku dan kamu menjadi kita. Aku ingin kita bisa lebih dari Ardan dan Maura. Aku ingin Ardan dan Nessa. Shall we in a open relationship?” kata-kata Ardan itu begitu romantis. Aku seperti tersihir, melayang ke langit ketujuh bersama malaikat pembawa kebahagiaan.
Aku tidak bisa mengucapkan apapun, aku hanya bisa memeluk Ardan dan menangis terharu di bahunya. Benar-benar kejadian yang tak disangka, seseorang yang aku cintai juga mencintaiku. Aku ingin segera menelpon Vanna dan bilang kalau tonight was my worst and greatest night!
Aku melepas pelukan hangat Ardan itu. Dan Ardan menyeka airmata yang masih menetes dari mataku.
“Don’t cry Nes, your tears was a big weakness of mine!” katanya. Benar-benar kata-kata yang masuk kehatiku yang paling dalam.
Aku hanya bisa tersenyum haru atas kejadian malam ini. Aku segera mengambil handphone ku dan menelpon Vanna.
“Hallo? Vanna? Ini Nessa!” teriakku masih dengat sedikit terisak. Aku benar-benar tidak percaya malam ini menjadi malam yang begitu indah bagiku. For Ardan too.
kek1 = seperti, kaya
PPC2= Pansy Parky Café
***0***