Karya Hilary Sekar Pawestri (8A)
Sore ini begitu indah. Suasana kota jogja bebalut langit jingga yang menawan. Di sepanjang Malioboro mulai berdiri tenda-tenda lesehan. Para pengamen mulai menunjukan aksinya di pojok-pojok kota Jogja. Aku pun menikmati pemandangan itu. Pemandangan yang beragam di setiap sudut Jogja.
“Astaga!”
Aku melihat seseorang lewat depan rumah membawa sebuah bungkusan berupa kado. Aku teringat akan sesuatu, 3 hari lagi tepat tanggal 12 Juli. Bunda ku ulang tahun yang ke 40. Apa yang akan aku kasih ke Bunda. Aku masih bingung sampai sekarang. Beberapa hari yang lalu aku punya keinginan untuk membelikan bunda sebuah baju muslim berwarna merah hati di salah satu toko di Malioboro. Tapi bunda telah memiliki baju yang sangat banyak, bahkan bagus-bagus.
Semua barang mewah bukanlah barang yang sepesial bagi bunda. Bukan karena keluargaku termasuk keluarga yang berkecukupan, tapi Bunda memanglah pribadi yang sederhana. Selama ini setiap bunda berulang tahun aku selalu memberinya hadiah. Hadiah berupa baju, kerudung, sandal, ataupun perhiasaan yang aku berikan pada ulang tahunnya yang ke-30 lalu, tentunya dengan berpatungan dengan ayah dan kakak.
Satu minggu yang lalu kakak sempat mengajakku berpatungan, untuk membelikan bunda sebuah kalung yang bertuliskan nama bunda. Sayangnya rahasia kami ketahuan Bunda, dan Bunda tentu saja tidak mau kalau kami hanya menghabiskan uang untuk hanya untuk hal seperti itu, Bunda justru memarahi kami.
“Ya ampun, buat apa sih beli kalung, Bunda kan masih punya, sayang kan uangnya, mending buat bantu orang lain yang susah makan, lagipula ngumpulin uang susah kan, mendingan disimpen di bank aja.”, kata Bunda saat memarahi kami dulu.
Bunda selalu seperti itu. Setiap tahu bahwa kami akan membeli sesuatu yang kurang bermanfaat, pasti melarangnya. Kata Bunda kalau memang itu belum bener-bener di butuhin ya udah mending jangan beli dulu, sayang uangnya.
Maka dari itu, pada ulang tahun bunda kali ini aku ingin memberikan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak akan terbayangkan oleh Bunda sebelumnya. Tapi sampai saat ini aku belum menemukan ide itu.
Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang merapat di depan rumahku. Bermodalkan sebuah gitar kecil, ia mulai menyanyi. Suaranya tidak begitu bagus, tapi semangatnya luar biasa. Padahal keringat sudah membasahi hampir seluruh tubuhnya. Tubuhnya pun sudah lusuh. Sama lusuh nya denganku sesudah bermain bola kemarin sore bersama teman-teman.
“Aha.”
Sebuah ide cemerlang melesat di kepalaku. Ide itu muncul dari anak kecil yang mengamen di rumahku. Ide yang cemerlang, tetapi juga menantang. Sebelum aku memikirkan ide itu lebih lanjut aku menyerahkan satu lembar 5000-an kepada anak itu sekaligus sebagai tanda terimakasih atas idenya.
Hadiah untuk Bunda dari hasil keringat sendiri. Ide itu yang aku cari selama ini. Ide yang mungkin takkan terpikirkan oleh Bunda, Ayah, ataupun Kakak. Pada ulangtahun Bunda kali ini. Aku akan memberikan sebuah hadiah, yang mungkin takkan terlupakan oleh beliau.
Hari berikutnya aku mulai memikirkan pekerjaan apa yang seharusnya aku kerjakan. Yang mungkin tidak terlalu sulit. Karena sama sekali belum ada ide, siang harinya sepulang sekolah, aku mengajak salah satu sahabatku untuk berkeliling di sekitar alun-alun selatan untuk mencari ide. Awalnya Andra tidak mau tapi karena sebuah iming-iming ia pun luluh.
“Andra bagaimana nanti aku traktir es krim deh pulang sekolah, asal mau nemenin aku?” tawarku kepada Andra.
“Beneran ya Zan beliin aku Es krim” pintanya.
“Iya deh, emang pernah seorang Muhammad Arkha Fauzan bohong” jawabku
Sesampainya di alun-alun selatan, ternyata masih sepi. Barulah sekitar pukul 15.00 mulai ramai pengunjung. Selain pengunjung banyak pula becak warna-warni di setiap sudut lapangan, pedagang kaki lima, juga beberapa orang yang mencoba melewati dua beringin kembar karena konon katanya siapa orang yang bisa melewati pohon itu dengan mata tertutup semua keinginannya akan terkabul. Selain itu juga banyak pengamen yang lalu lalang disini. Namun karena waktu sudah meunjukkan pukul 17.00 dan belum menemukan ide aku pun memutuskan untuk pulang. Juga tidak lupa membelikan es-krim permintaan Andra tadi.
Sekarang tanggal 09 Juli berarti 3 hari lagi Bunda ulang tahun, tetapi aku sama sekali belum mendapat sepeser uang. Sampai akhirnya tuba waktu istirahat. Waktu itu kebetulan Mbak Inem yang suka bantuin ibu kantin buat ngelayanin anak-anak nggak masuk. Dan karena waktu aku liat ternyata ibu kantin lagi kesulitang, iseng-iseng aja aku samperin. Setelah merajuk bu kantin buat ngebantuin akhirnya aku boleh ngebantuin. Dari mulai cuci piring, bikin minum, sama nganterin makan aku kerjakan. Setelah 2 kali ngebantuin. Pada saat istirahat pertama dan kedua akhirnya aku mendapatkan upah sebesar Rp 12 000, yah lumayanlah.
Hari kedua masih sama seperti hari pertama. Membantu Ibu kantin. Sampai-sampai teman-temanku merasa heran, karena biasanya aku lebih suka menyuruh daripada disuruh, itu semua karena pengaruh aku adalah anak terakhir. Hari ini masalahnya Cuma dapet uang Rp 8.000, gara-gara tadi ada piring yang pecah. Berarti uang yang terkumpulkan baru Rp 20.000.
Pulang sekolah, aku diajak Andra untuk mengikutinya. Sepertinya dia tahu bahwa aku memiliki uang yang tentunya tidak cukup untuk membeli sebuah hadiah untuk Bunda. Setelah sampai ke sebuah lokasi yang cukup asing bagiku, aku pun tersenyum pada Andra. Loper koran,rupanya ini usul Andra untuk membantu ku, menjadi loper koran.
Hari ini Rp 10.000 dari hasil menjadi loper koran tersimpan rapi di saku celana. Malangnya ketika sampai rumah, Bunda sudah berkacak pinggang di depan pintu. Itu semua karena aku pulang pukul 18.00, tapi kalau Bunda tahu sebenarnya ini semua untuk bunda pasti dia tidak mungkin marah.
Hari terakhir. Uang yang ku dapatkan baru Rp 30.000. Hari ini justru aku bingung. Bingung dengan apa yang harus aku kerjakan. Membantu ibu kantin tidak mungkin, karena sudah ada yang bantu. Jadi loper koran, justru akan membuat Bunda marah.
Apalagi pengalaman menjadi loper koran kemarin membuatku kapok. Siang itu sewaktu sedang mengantarkan koran ke salah satu rumah besar. Saat sedang melempar koran tiba-tiba ada suara anjing menggongong. Yang lebih menakutkan adalah, anjing itu ternyata tidak memakai tali. Tanpa basa basi aku dan Andra lari terbirit-birit. Andra aman karena dia lebih memilih masuk ke salah satu rumah penduduk. Sedangkan aku masih terus berlari, setelah aku melihat sebuah pohon yang tidak cukup tinggi. Tanpa pikir panjang aku pun memanjatnya untuk menghindari kejaran si anjing. Pengalaman itu sudah membuatku menyerah jika harus menjadi loper koran. Tetapi juga sekaligus menambah pengalaman yaitu dikejar anjing. Bagus tuh kayaknya jika dibuat menjadi cerpen.
Membantu mencuci piring di kantin juga memberi ku sebuah pelajaran. Cuci piring bukanlah hal yang mudah, apalagi jika kita harus mencuci piring milik orang lain, pastinya ada rasa yang tidak menyenangkan. Selain itu bau sabun cuci piring akan menempel di tubuh kita.
Siang ini pun aku masih bingung harus melakukan apa. Jika nanti aku pulang larut lagi, justru aku akan mengecewakan bunda. Bunda pasti sudah akan berdiri di depan pintu, berkacang pinggang, dan mata memicing, dan sudah siap dengan kalimat-kalimat yang akan Bunda lontarkan padaku.
“Fauzan.” Teriak Winy dari sudut kantin.
“Eh ada apa Win?” tanyaku padanya.
“Di panggil Pak Budi, disuruh ke ruangnya.”
“Makasih ya.”
Saat itu juga aku menuju ruang Pak Budi. Sebenarnya aku merasa agak deg-degan menuju ruangannya, takut jikalau aku di panggil karena sebuah kesalahan.
“Permisi pak.” salam ku setelah sampai ruang pak Budi.
“Ya masuk.”
Setelah 10 menit berada dalam ruangan aku keluar dengan tangan membawa sesuatu.Sebuah kertas bertuliskan penghargaan. Aku sampai lupa, ternyata satu minggu lalu aku mengikuti lomba melukis tingkat provinsi. Dan kali ini aku mendapatkan juara 1, tentu saja mendapatkan tiket ke Nasional.
“Mungkin ini akan menjadi kado terindah untuk Bunda” gumamku dalam hati, sambil memegang erat kertas itu.
Siang itu sepulang sekolah, aku mampir ke sebuah toko bunga. Aku akan membelikan satu tangkai bunga yang indah untuk ibu. Mungkin hadiah itu yang akan aku berikan untuk hadiah ulang tahun ibu kali ini. Mawar merah dan putih masing-masing satu tangkai dan piagam Provinsi ini, akan beliau terima.
Malam nya sekitar pukul 23.30. Setelah semua orang rumah terlelap aku mengendap-endap ke depan kamar Bunda. Piagam dan bunga yang aku beli kemarin aku taruh di depan pintu, tanpa ada yang mengetahui.
“Fauzan…”
Bunda memanggilku, aku tahu pasti beliau mau menanyakan tentang bunga dan piagam itu. Dan aku pun berharap semoga beliau bangga dan senang karena itu.
“Ini dari kamu?”
“Iya bun”
“Makasih ya fauzan, tapi kenapa harus ada bunga? Piagam ini cukup membuat ibu bangga” suaranya terdengar begitu lembut, tiba-tiba ibu mau memelukku.
“Ah nggak bun, nggak usah, cium tangan aja ya?
Aku memang paling sebal, jika ibu akan memelukku. Meskipun aku merasa tenang ketika dipeluknya.
“Fauzan, beli kado kok nggak ajak-ajak?” tanya kak Jasmine
“Salah siapa nggak ikut, wekk”
“Ya udah kalau gitu bunganya yang satu buat kakak”
“Jangan!!” teriaku sekeras mungkin.
Kakak memang senang membuatku jengkel, setelah mengambil bunga itu dia berlari kekamar, untuk menghindari omelanku.
“Asal kau tahu Bunda, mengenai semua pengorbanan ku, mungkin aku akan membuatmu menangis” gumamku dalam hati.
***0***